Grafik amatan sy pada progres minat siswa untuk bertarung memperebutkan satu kursi perguruan tinggi belumlah menggemberikan, justru menyedihkan. Sekolah-sekolah di daerah relatif tidak tertarik bagi siswa setamat SMA untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Apalagi setelah mendengar pemaparan teman2 sy, Kepala Sekolah saat presentasi harapan siswa melanjutkan ke perguruan tinggi. Hampir semua memberi persentase yang rendah.

Saya coba pahami dari obrolan dengan anak2 dan guru. Terutama anak2 IPS yg motivasi melanjutkan ke perguruan tinggi negeri rendah. Sy seperti memperoleh informasi yang ntah bisa sy sebut sebagai hipotesis atau bahkan sudah konklusi. "Iya, kami kalah Pak !!'
Ada 3 jalur perguruan tinggi negeri yg bisa ditempuh oleh anak2, melalui undangan, melalui tes dan jalur mandiri yg juga diikuti lewat tes. Jalur undangan, semakin kemari semakin terbatas yg dapat diraih siswa, tergantung akreditasi sekolah. Dulu pernah saat pak M. Nuh Mendikbud, jalur ini dapat diikuti oleh 100% siswa jika sekolah akreditasi A. Pak M. Nuh membuka keran besar mgkn juga karena beliau Mendikbud yg berasal dari rektor. Ntah alasan apa, semakin kemari semakin berkurang jatahnya, masa pak Muhadjir dan Mas Nadiem tidak lagi 100% bagi akreditasi A. Sekarang jika sekolah akreditasi A seperti kami di SMA Negeri 1 Matangkuli kebagian 40% dari total siswa kami yang kelas XII dapat jatah mengambil undangan ke PTN.
Jangan berharap banyak dari jalur undangan ini, hampir mustahil ada sekolah yang bisa lulus 100%, konon lagi bagi sekolah di kampung yang jika diadu dengan sekolah pendatang dari luar, bisa nyess hasilnya. Jalur undangan yg diuji adalah nilai raport. Hasilnya terlalu misterius, variabel yang dinilai jarang dibuka. Kadang sy merasa bisa diintervensi meski dikata seleksinya dilakukan nasional. Jika ada kejanggalan dari ketidaklulusan ini, tidak ada tempat mengkonfirmasi. Jika kita bertanya bagaimana trik agar lulus jalur undangan, tidak ada seorang pun sampai hari ini yg jawabannya memuaskan sy. Ujung2 "itu kemungkinan menurut sy pak", begitulah dalih dari para ahli yg sy tanya. Terbentur dimana misteri ini sy tidak paham.
Namun beberapa universitas secara tegas memberi porsi kelulusan bagi siswa di provinsinya lebih besar. Ternyata bisa. Kelulusan undangan ini pun bisa disetting oleh kampus, mulai dari 50% kuota jurusan sampai seterusnya.
Sayangnya sy belum melihat itu, proporsi yang besar bagi anak2 provinsi sendiri pada kampus PTN di Aceh. Tidak perlu sy sebut nama kampusnya, banyak PTN di Aceh, tersebar hampir bisa mencaplok masing2 kabupaten kota di Aceh. Namun jurusan favorit sulit ditembus oleh anak2 kampung melalui jalur undangan. Sy pernah menantang membuka data, seberapa banyak anak2 Aceh yg sekolah di Aceh diterima pada jurusan favorit suatu PTN di Aceh. Sy yakin minim.
Di situ kami mulai kalah, anak2 sudah merasa skeptis, buat apa ambil jalur undangan, toh jurusan yang kami inginkan mustahil kami peroleh karena variabel yang kami tidak paham.
Setelah jalur undangan gagal, kami harus berjuang pada jalur tes. Ini sangat menakutkan. Saya pernah menulis betapa jauhnya materi ajar kurikulum reguler dengan soal ujian masuk perguruan tinggi. Seolah tidak nyambung sama sekali. Tiga tahun sekolah sekayak.tidak dapat materi tersebut sehingga banyak anak2 harus ikut bimbel.
Lah berapa persen anak2 yg punya kesempatan ikut bimbel ?. Tidak semua daerah punya bimbel UTBK, tidak semua orang tua atau anak sanggup ikut bimbel dengan biaya yg relatif tinggi. Akhirnya kami pasrahkan saja ketika ikut ujian. Syukur2 bisa lulus tanpa bimbel meski kemungkinan kecil karena saingan jauh lebih kuat dari kami. Belum ikut kami sudah minder, malah sebagian kami sudah menyerah melambai tangan ke kamera. Good bye PTN.
Akhirnya kami menggadaikan masa depan kami melalui jalur seleksi universitas swasta. Lebih soft, lebih mudah. Terutama PTS di Aceh, banyak yg biaya kuliahnya lebih murah dari negeri, bisa bayar belakangan tanpa pakai sistem non aktif jika gak bayar duluan. PTS juga bisa dapat beasiswa. Dosennya juga pengajar di PTN, memiliki NIDN. Bisa saja jurusan Teknik dari IPS, bahkan jika banyak uang, kedokteran juga bisa dari IPS. Akhirnya banyak siswa kami yang memilih ngerem mengikuti seleksi PTN karena PTS bisa lebih soft.
Lalu dengan gagahnya si pejabat kampus itu bilang "kualitas pendidikan di Aceh rendah". Lah kontribusi kampus dalam memajukan pendidikan di provinsi ini apa ?.
Saya kembali berharap, memohon, memelas, kenapa kita tidak membuka jalur undangan dengan porsi terbesar bagi anak2 yang sekolah di Aceh. Jika perlu 100% jalur undangan diperebutkan oleh anak2 yang sekolahnya di Aceh, karena pada jalur tes kami merasa kalah duluan. Atau kami tetap dibiarkan tanpa mengalah menuju PTS lalu sedikitlah anak2 kami yg berminat utk PTN. Bukan sepenuhnya salah kami bukan ?!!