Sejungkir balik apa pun saya menjelaskan tentang keunggulan kurikulum merdeka, namun pertanyaan utama tetap sama di setiap tempat, "apakah jika suatu bidang studi tidak memenuhi 24 jam tidak akan memperoleh tunjangan profesi ?". Lagi-lagi saya tercenung di angka 24. Adakah jaminan ke depan guru menerima tunjangan sertifikasi.
Kepmendikbud no. 56/M/2022 memberi garansi bahwa seorang guru yang tidak cukup mengajar 24 jam tatap muka (JTM) per Minggu maka dapat ditugaskan menjadi koordinator proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5). Tapi menjadi koordinator P5 hanya diakui dua jam saja. Lalu bagaimana jika setelah koordinator P5 masih tidak cukup 24 JTM ?. Guru yang memperoleh TPP pada kurikulum 2013 tetap valid untuk memperoleh TPP pada Kurikulum Merdeka.
 
Yakinkah guru setelah saya sampaikan aturan yang sangat jelas itu ?, Tidak !!!. Sumber keputusan pembayaran adalah dapodik, "apakah aturan itu bisa valid di dapodik pak ?!!, Mengingat 2 jam menjadi wali kelas sebagaimana Permendikbud no. 15 tahun 2018 sering tidak valid di dapodik ?". Kali ini saya beneran mati kutu, kecuali menjawab, semua guru penerima tunjangan profesi pada kurikulum 2013 di sekolah penggerak tetap memperoleh tunjangan di tahun berjalan ini meski tidak cukup 24 JTM, asalkan prioritas guru pelaksana Kurma merupakan guru sertifikasi.

Bukan persoalan pembayaran juga yang bikin saya miris jika masih pembayaran tunjangan profesi pendidik (TPP) berdasarkan 24 JTM. Cita-cita kurma akan hancur oleh 24 JTM itu. Suatu hal yang saya senangi dari spirit kurma adalah pengembangan minat dan potensi siswa secara optimal melalui P5. Sesuatu yang buat dia beda significantly dengan K13. Lalu dapatkah siswa memperoleh kesempatan itu jika angka 24 diterapkan sebagai pola pembayaran TPP Guru ?.

Pada kurma di fase E kelas X, seluruh murid mengikuti bidang studi tanpa boleh memilih peminatan. Artinya semua bidang studi wajib. Sebanyak 16 bidang studi, murid harus mengikutinya. Tanpa jurusan membuat siswa harus belajar rumpun IPA (Fisika, Kimia, Biologi) dan IPS (Geografi, Ekonomi, Sosiologi dan Sejarah) plus tambahan bidang studi Informatika dan Muatan Lokal yang menjadi wajib serta seni-prakarya yang digabung.

Pada Kelas XI dan XII (Fase F) murid belajar bidang studi wajib (Pendidikan Agama, Pancasila, Matematika, Bahasa Indonesia, English, PJOK, Muatan Lokal), lalu memilih beberapa bidang studi peminatan setidaknya dua kelompok dengan jumlah jam sebanyak 38 JP per Minggu. Program peminatan terdiri dari IPA (Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, Informatika), IPS (Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Sejarah dan Antropologi), Bahasa (English, Arab, China, Korea, France dsb), serta peminatan vokasi-prakarya. Siswa wajib memilih silang antar peminatan tersebut minimal dua dengan jumlah 4 s.d 5 mapel hingga terpenuhi 38 JP per Minggu.

Sebenarnya, pola ini tidak asing di K13. Kita mengenal lintas minat, yaitu adanya salah satu atau lebih pelajaran IPS di jurusan IPA dan ada pelajaran IPA yang diajarkan di rumpun IPS. Siapa yang memilih pelajaran lintas tersebut ? Aturannya murid !!. Namun pada kenyataannya bukan murid, justeru Kepala Sekolah yang menentukan, pelajaran IPS yang dilintas ke IPA dan pelajaran IPA dilintas ke IPS.
Pertimbangan Kepala Sekolah dapat dipahami oleh setiap orang di sekolah termasuk murid yang harusnya memilih sendiri. Kepala Sekolah ingin agar setiap gurunya terjamin kesejahteraan, setiap gurunya harus valid dapodik dengan ukuran minimal 24 JTM. Maka IPA yang dilintas ke IPS adalah bidang studi yang kelebihan guru sehingga menutupi kebutuhan 24 tadi pada guru tersebut. Begitu pula sebaliknya.

Jika pembayaran tunjangan profesi pendidik masih mengacu pada pemenuhan 24 JTM per Minggu, saya khawatir regulasi ini mematikan potensi siswa. Karena kepala sekolah tetap akan mengutamakan pemenuhan 24 JTM bagi gurunya ketimbang membuka kelas atas pilihan peminatan siswa yang pasti sangat beragam. Sementara fase F justru optimalisasi potensi siswa melalui bidang studi pilihannya. Bukankah gegara pembayaran TPP berlandaskan pada 24 JTM akan merusak pilihan siswa untuk pengembangan minat dan potensi siswa. Lalu apa yang kita harap perubahan kurikulum dapat merubah masa depan siswa ? Jika belum apa2 justru sekolah punya wewenang lain buat gurunya.

Hapus 24 JTM sebagai syarat pembayaran TPP !!!

Matangkuli, 9 Juni 2022

Khairuddin Budiman